KESAN: Pengalaman Sebagi Perwira TNI

Ijinkanlah saya menuliskan pengalaman pribadi sebagai perwira TNI yang mungkin ada manfaatnya buat adik2 menwa yang masih kuliah di UI. Minat untuk berkarir sebagai perwira militer dipengaruhi oleh lingkungan keluarga: ayah saya seorang mantan pejuang dalam Tentara Pelajar (TP) yang setelah pengakuan kemerdekaan memilih untuk di-demobiisasi dengan pangkat sersan dua dan kembali bersekolah. Ayah saya lulusan SMA N I Jogjakarta jurusan A tahun 1950-1951. Kemudian melanjutkan kuliah di FH UGM setelah gagal masuk seleksi calon kadet Institut Angkatan Laut (IAL). Sebagi bekas pejuang, mantan TP mendapat bantuan beasiswa/tunjangan selama masih kuliah. Setelah lulus sarjana dari FH UGM, ayah saya kemudian bergabung dalam AURI melalui program semacam "direct commissioning officer programme". Tanpa saya sadari saya tumbuh dalam bayang2 ayah dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Walaupun ayah saya seorang yang cukup militan, tetapi ayah saya bukan seorang prajurit yang sesungguhnya. Pengalamannya bertempur selama perang gerilya hanya bermodal semangat dan hasil pelatihan tentara Jepang pada saat ayah masih sekolah di SMP. Perang gerilya pada dasarnya hanya memukul musuh saat lengah dan lari sebelum musuh dapat membalas. Yah...itulah sekedar latar belakang pengalaman saya. Pada saat remaja saya memutuskan untuk berusaha agar bisa menjadi perwira TNI. Karena salah informasi dan mungkin karena ayah saya juga bukan lulusan akademi militer, saya lebih mengutamakan belajar dan prestasi akademik dibanding latihan yang lebih serius untuk pembinaan fisik. Terlebih lagi saya mendapat banyak masukan tentang West Point (US Military Academy) yang juga mempunyai standar ilmiah/akademik yang setara dengan universitas yang kredibel di negara tersebut. Saya adalah tipe siswa sekolah yang terpaksa belajar dengan tekun dan keras untuk dapat menguasai pelajaran yang ada di sekolah sehingga tidak banyak waktu untuk hal lain. Pada akhirnya saya menyadari kalau saya tak akan lulus dalam seleksi fisik untuk menjadi taruna akmil di Indonesia, walau pun prestasi akademik saya tidak terlalu jelek.

Saya dianggap cukup pandai untuk masuk IPB tanpa ujian dan saya kuliah di tempat itu selama 1 tahun. Saya cukup beruntung bahwa setelah mengikuti seleksi masuk akhirnya dapat diterima di FK UI tahun 1987. Sebagai mahasiswa UI saya terpaksa memendam hasrat untuk hidup di dunia militer karena tiap saat bisa kena drop out. Sampai pada akhirnya setelah lulus DrsMed, dan memulai pendidikan profesi, saya membaca pengumuman di kampus:MABES ABRI memiliki program rekrutament calon dokter dan mahasiwa senior untuk menjadi perwira ABRI dan mendapatkan Beasiswa. Pada tahun 1992-1993 minat dokter berkarir di lingkungan ABRI tidak terlalu tinggi, hanya 4 orang "dokter-muda" dari FK UI yang mendaftar untuk mengikuti program Perwira Beasiswa yang akhirnya mereka ini harus cuti kepaniteraan dan mengikuti pendidikan dasar militer selama 19 minggu di KODIKAL Surabaya. Pada akhir pendidikan +/- 128 Letnan Dua AD, AL, AU dan POLRI yang baru dilantik dan dikirim kembali ke perguruan tinggi masing2 untuk menyelesaikan sisa pendidikannya. Dokter-muda : alih bahasa untuk "koass", sarjana kedokteran dalam pendidikan profesi sebagai dokter. Saya bersyukur bahwa saya akhirnya tidak hanya sekedar sebagi penonton/melihat personel dan lingkungan militer yang selama ini sudah cukup saya kenal. Ternyata walau cukup dekat, hanya melihat dan mengalami sendiri adalah sesuatu yang sangat berbeda. Saya sempat ter-kaget2 selama pendidikan dasar militer dan kadang menyesali keputusan saya untuk benar2 bergabung dalam militer sementara masih ada peluang yang lain yang mungkin lebih baik. Wah...ceritanya masih cukup panjang. Tetapi kali ini cukup sekian, akan saya tuliskan cerita selanjutnya di lain kesempatan. Mudah2an bermanfaat.

Terimakasih untuk bro Hanung yang telah berbagi | share pengalaman disini.

Pengalaman yang bisa jadi pedoman bagi para alumnus MENWA UI . . . terutama bagi mereka yang ingin berkarir di militer.


Semoga bermanfaat buat yang lain.

Ijinkanlah saya melanjutkan kisah yang telah ditulis sebelum ini. Saya bergabung dalam TNI melalui program Perwira BeaSiswa angkatan ke-6. Program semacam ini dimulai tahun 1987 dan berakhir tahun 1992, jadi hanya 6 angkatan. Sebenarnya sudah ada program sejenis di tahun 1950-an dan 1960-an dengan nama yang berbeda dengan peraturan yang berbeda, tergantung situasi politik dan ekonomi negara kita. Pada saat kuliah di Bagian Mikrobilogi FK UI, seorang teman menunjuk sosok ayahnya sebagai personel militer di antara teman2nya seangkatan dalam foto bersama mahasiswa FK UI di tahun 1950-an yang dipajang di salah satu ruangan bagian tersebut. Dalam sejarah FK UI, beberapa civitas akademik menjadi personel militer yang aktif dalam perjuangan bersenjata dalam organisasi militer; misalnya Prof Dr Abdurahman Saleh, Dr Dustira, DrsMed Ridwan Meureksa, Prof Dr Satrio, Beberapa personel mahasiswa yang kemudian memilih berkarir sebagi militer misalnya Subiyanto Djojohadikusuma, M.T. Haryono, S. Parman, Agustinus AdiSutjipto dan masih banyak lagi. Ternyata beberapa guru besar FK UI pun sempat menjalani dinas militer pada saat negara membutuhkan seperti pada masa Dwikora, yang saya ketahui di antara mereka: Prof. Dr. Djoko Rahardjo SpB, SpU dan almarhum Prof. Dr. Chehab Rukmi Hilmi SpB. SpBO., Prof. Dr. Firman Lubis dari Bagian Kesehatan Komunitas dalam bukunya juga menulis pengalamannya mengikuti pelatihan militer di tahun 1960. Jelas lah bahwa tradisi turut serta dalam usaha pembelaan negara bukan hal baru dan menjadi bagian dari sejarah UI. Nah.... hal ini juga diketahui oleh mahasiswa kedokteran yang lain, tetapi tidak menjadi perhatian utama mereka. Demikianlah hingga saatnya saya membaca pengumuman yang dipasang di depan Kafetaria Mahasiswa FK UI di akhir tahun 1992. Sebelumnya, beberapa kali, mungkin setahun sekali, pihak Ajend (Ajudan Jendral) KODAM Jaya telah mengadakan semacam pertemuan untuk memberikan informasi langsung di ruang Kuliah Anatomi FK UI. Ajudan Jendral adalah sebutan untuk bagian dari TNI AD yang mengurus masalah personel atau sumber daya manusia. Waktu itu saya tidak terlalu serius untuk mencari informasi lebih lanjut. Ternyata sampai batas waktu yang ditentukan hanya 6 yang mendaftar dan itu pun yang benar2 serius hanya 4 orang. Akhirnya saya mengurus semua dokumen yang diperlukan dan ini cukup merepotkan karena banyak yang harus diurus. Seleksi calon Perwira BeaSiswa meliputi: 1.Kelengkapan Administrasi; surat keterangan dari kepolisian, rekomendasi dari pihak FK UI, legalisir Ijazah SD, SMP, SMA dan transkrip nilai kuliah dsb. 2. Test Kesehatan; seperti medical check up, yaitu pemeriksaan fisik dari kepala hinggga kaki, pemeriksaan laboratorium darah dan urin, pemeriksaan X-ray thorax, dan EKG. 3. Test samapta/ physical fitness test yaitu : lari 12 menit, push-up, sit-up, pull-up dan shuttle run. 4. Test psikologi: tertulis yang memakan waktu sampai +/- 4 jam dan juga wawancara. 5. Test mental idiologi dan terakhir adalah 6. Panitia Penentu Akhir (Pantukhir) semacam sidang yang dihadiri Waaspers Kepala Staf dari TNI AD, TNI AL, TNI AU dan POLRI, mereka adalah PaTi dengan Bintang Satu (BrigJend). Pokoknya sangat berbelit dan merepotkan untuk kita yang masih kuliah. Untungnya saat itu tidak terlalu sulit untuk mendapat ijin dari FK UI. Sepertinya para dosen telah merestui kami "dikorbankan" untuk masuk dunia militer. Bagi adik2 Menwa rangkaian test semacam ini tentu sudah kalian ketahui. Saat pengumuman pun ada cerita unik. Kami waktu itu +/- 43 orang dari berbagai program studi di UI dan UPN. Kami apel di halaman kantor Ajend dan seorang perwira yang bertugas menyebutkan nama2 calon untuk masuk ke kantor. Saya termasuk yang tidak dipanggil bersama ke-3 teman dari FK UI. Tersisa +/- 22 calon di luar, saya sempat kesal karena saya pikir saya gagal. Bukan karena apa2 , tetapi karena sudah terlalu banyak kerepotan dan waktu terbuang. Baru kemudian kami diberi tahu untuk bersiap mengikuti pendidikan dasar militer dan kami harus cuti kuliah. Wah ... saya jadi lega juga. Sedangkan mereka yang masuk ke kantor mendapat pengarahan; bahwa mereka mungkin tidak terlalu cocok sebagai personel militer dan karir di bidang lain akan lebih bermanfaat/baik. Sejenak saya merenung, pertimbangan bahwa saya dari FK UI rupanya menjadi alasan utama saya diterima, sementara waktu itu ABRI sangat membutuhkan perwira medis untuk satuan operasionalnya. Untuk hari ini cukup sekian dulu. Mudah2an para pembaca tidak bosan. Saya masih punya banyak cerita lain, sekiranya para pembaca, terutama adik2 ingin mengetahui.

Kepada administrator: terimakasih karena telah disediakan fasilitas ini.

Baiklah...cerita saya lanjutkan dan mudah2an tidak membuat bosan pembaca sekalian... Tentang test samapta..., saya lupa menyebutkan ada juga test berenang di kolam renang di Cijantung. Yach...kalau menwa UI pasti sudah bisa lulus dari segala macam test seperti ini. Mengenai test mental ideologi; ada dua tahap: tertulis dan wawancara. Kalau bertekad untuk membela dasar negara dan konstitusi secara teori pasti lulus. Pada saat wawancara wawasan dan latar belakang sosial-politik akan dievaluasi. Saran saya:bagi yang berminat jadi anggota TNI: bacalah biografi Jendral Soedirman...., dialah jiwa TNI yang berasal dari rakyat dan berjuang tanpa pamrih tanpa sempat menikmati hasil perjuangaanya. Seperti kita ketahui, dalam sejarah perkembangan negara kita, terdapat beberapa pejuang mempunyai banyak pamrih sehingga mereka tidak setia pada cita2 perjuangan kemerdekaan. Sekali lagi saya ungkap di sini bahwa Jendral Soedirman adalah seorang guru yang menjadi milter karena pendidikan PETA. Seperti adik2 menwa yang belajar di berbagai program studi di berbagai Fakultas di UI yang juga mendapat pelatihan militer, Jendral Soedirman adalah seorang "citizen soldier", seorang milisi dengan wawasan kebangsaan yang baik. Saya yakin adik2 menwa UI adalah orang mempunyai panggilan jiwa sebagi militer, kalau memilih karir sebagi militer dan bukannya "terpaksa" jadi tentara untuk sekedar mencari pekerjaan. Saya beranggapan dan melihat bahwa seorang yang dapat bekerja di perusahaan swasta dengan fasilitas yang lebih baik tetapi memilih dengan sadar bekerja di lingkungan yang sulit adalah seorang pejuang dan prajurit yang layak untuk diuji. Namun demikian..... sy sendiri beranggapan bahwa nasib-lah yang membawa diri saya berkarir di kesehatan militer. Maksud saya sebenarnya adalah....: apa pun profesi kita.., asal dikerjakan dengan niat yang baik dan bermanfaat untuk orang banyak dan bukannya hanya untuk memperkaya diri di setiap kesempatan...: adalah tempat perjuangan dan pengabdian yang terbaik. Sy sedih juga kalau melihat masyarakat kebanyakan tetap masih sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang berkualitas karena sistem yang ada masih kurang mendukung. Perjuangan yang telah dimulai oleh para pendahulu kita memang belum sepenuhnya tercapai. Mungkin cukup sekian dulu.... Mudah2an bisa jadi bahan pertimbangan untuk adik2 Menwa yang masih kuliah di UI.